Disaba do Indahan

12/06/2012


Sore ini kusempatkan waktuku menjemput anak-anak yang dibawa ke sawah oleh oppungnya. Kebetulan saat ini sedang musim panen padi di saba Silakkeut (nama hamparan persawahan di kampungku). Mumpung ada waktu, kusempatkan sebentar melihat situasi di sawah. Sudah agak lama tidak pernah lagi ke sawah yang menyimpan banyak kenangan tentang masa kecilku. Ya, keseharian pada masa kecilku kuhabiskan di sawah ini, bersama orangtua dan saudara-saudaraku.

Saya jadi teringat kala itu ketika pulang dari sekolah. Seperti biasa saya pulang dengan berjalan kaki bersama seorang sahabat karib dimasa kecilku Sopardi Tambunan. Saya harus berjalan seperti seorang atlit pejalan cepat kalau tidak ingin jatah "ikkan" atau lauk makan siang yang sudah disediakan pas-pasan tidak digerogoti oleh abangku Junedi. Sesampai di rumah saya bergegas hendak mengambil makanan di dapur. Kuambil piring dan sendok nasi dan alangkah kesalnya perasaanku saat membuka periuk tempat nasi dan tudung sajian di atas meja. Saya tidak menemukan makanan apa-apa selain sehelai kertas putih dan agak lusuh. 

Kuraih kertas tersebut dan perlahan kuperhatikan, tulisannya polos dan seadanya saja seperti tulisan seseorang yang memang sekolah cukup sampai bisa baca tulis saja. Rasa kesalku timbul saat itu juga ketika membaca kertas yang bertuliskan "Edi, Erra, Uin ... mulak sikkola ro hamu tu saba. Disaba do indahan" (Edi, Erra, Uin ... pulang sekolah segera ke sawah. Makan siangya di sawah). Dalam hati aku berkata "pasti surat ni Oma do on (ini pasti tulisan Ibu)". Padahal saat itu perut sudah sangat lapar dan bertambah lapar saat membayangkan harus berjalan kaki lagi menusuri pematang persawahan untuk mendapatkan jatah makan siang.

Itulah cara yang dibuat oleh orangtuaku supaya sepulang dari sekolah kami langsung ke sawah dan tidak hanya di rumah  saja atau pergi bermain bersama anak-anak sebayaku yang tidak diharuskan ke ladang oleh orang tuanya. Untuk anak-anak pada jaman saya, cara ini termasuk sangat ampuh dan jitu.

Dengan berat hati, kulangkahkan kakiku menuju saba Silakkeut (sawah Silakkeut) dan tidak boleh terpengaruh dengan "godaan" dari teman-teman yang sepulang sekolah bisa marpukkul (bermain kelereng) di halaman rumah.

Saya terharu setiap mengenang hal ini dan mensyukuri seperti apapun keadaanku saat ini. Ini berkat orang tuaku dan andai saja orangtuaku tidak menerapkan cara seperti itu, mungkin saya hanya bisa menamatkan pendidikan sampai Sekolah Dasar saja. Mauliate Among, Inong.







Artikel Terkait

Previous
Next Post »